Sekilas Model Bisnis Startup-Startup Lokal Era DotCom Boom


DotCom BoomSebelumnya saya pernah menulis sebuah artikel tentang antara pemasukan model iklan digital dan startup. Di artikel tersebut saya membeberkan kembali apa yang Sarah Lacy dari TechCrunch dan pak Andi S. Boediman tentang digital ads, dan bagaimana digital ads tidaklah bagus untuk dijadikan primary income source untuk startup, kecuali jika produknya sudah banyak yang menggunakan.

Menariknya, banyak pendapat mengenai hubungan digital ads dengan startup. Salah satu pendapat tersebut ditweet oleh Okto Silaban, berikut adalah beberapa kutipan tweet-tweetnya:

Di Indonesia, model bisnis untuk web yang jelas masihlah IKLAN menurut saya, kecuali e-commerce ya. *indonesia lho ya..

Sebagian besar alasan pebisnis (offline) masuk ke dunia online bukankah karena kue iklan online makin gede? *di Indonesia*

@jfireman @lynxluna Ya.., ini topik lama sebenarny. Dulu jaman2 komunitas Dotcommers jg dibicarain. Mgkn bs di bahas di milis @startuplokal?

Dan akhirnya saya lempar pertanyaan di milis #startuplokal tentang bagaimana perkembangan iklan digital dan startup sejak jaman-jaman dotcom boom di sekitar tahun 2000-an awal. Berikut adalah beberapa respon menarik yang ada di milis:

Antonius Roy Hambali (@arhambali)

Saya jadi teringat artikel dari talk show FreSh yang mengangkat topik “Fallen Dotcom”. Link-nya pernah dikasi sama Mas Natali. Berikut link-nya: http://indobrad.web.id/2010/11/fresh-fallen-dotcoms/ dan http://freshyourmind.com/2010/11/02/377/

Kurang lebih pembahasannya tentang kenapa banyak dotcom berguguran di era taun 2000-an?

Menarik memang, saya ingat dulu waktu kuliah di Unpar Bandung, Gadogado.com dan Astaga.com menjadi sponsor acara Malam Keluarga kami. Budget mereka untuk marketing abis-abisan, sampai bendera umbul-umbul gadogado.com penuh sepanjang jalan di kampus.

Lalu Lipposhop.com juga sempat boom dari bisnis e-commerce. Lippo habis-habisan inves di Lipposhop, sampai mereka berani menggunakan SAP sebagai ERP mereka, padahal SAP milyaran rupiah harganya, dan hanya perusahaan-perusahaan besar yang berani membeli lisensi SAP.

Singkat cerita, tidak diragukan lagi keseriusan perusahaan dotcom di awal tahun 2000-an dalam berbisnis. Hanya saja mungkin saat itu pengguna internet di Indonesia belum sebesar sekarang dan koneksi internet pun masih sangat lambat. Namun menurut saya (sekali lagi menurut saya lho ya), mungkin masalahnya adalah Business Model yang kurang pas.

Kalau menurut Pak Andi S. Boediman dari Plasa.com mengatakan kalau Business Model yang hidup dari iklan kurang sustain dari sisi pendapatan. Video interview dengan Pak Andi bisa dilihat di sini:  http://www.notsogeeky.net/2010/07/02/interview-with-andi-s-boediman/

Saya sendiri berkali-kali menonton video tersebut, berusaha menangkap Business Model yang sustain menurut Pak Andi.

Leo Ferdinand (@neomelonbayinfokost.net)

bukan gadogado.com, gadogado.net

Infokost.net dari awal sudah menetapkan pemasang informasi hunian (kost dsb) harus membayar, berbeda dengan banyak website sejenis, dan terbukti model berbayar itu lah yg tetap sustain.

Business is about creating value. Jadi internet harus dipandang hanya sebagai media atau platform. Di atasnya harus ada value yg di-create yang bisa diterima oleh pasar (pasar bersedia untuk membayar value yg di-create). Kadang2 musuhnya bukan perusahaan dotcom lain, tapi perusahaan brick-and-mortar. Ada anak Binus di sekitar akhir tahun 90-an bikin mailinglist jualan barang2 komputer dengan margin yg sangat tipis tapi mereka mengandalkan volume penjualan dan overhead yg rendah sehingga bisa hidup dan sustain (kalo ga salah namanya Duta Kencana Komputer), beberapa saat sebelum Bhinneka.com berkembang. Mereka sempat maju sekali, walaupun sekarang namanya sudah agak jarang terdengar.

Banyak perusahaan dotcom era first bubble ambruk karena : 1. fundamentalnya tidak benar, atau 2. mendahului jamannya.

Contoh no.1 adalah perusahaan saya sendiri, www.online.co.id dan www.video.web.id , perusahaan rental VCD dan DVD dengan layanan antar jemput sejabotabek. Bisnis rental DVD dan VCD adalah bisnis di grey area, maka meskipun model bisnisnya sangat bagus dan revenue stream-nya jelas, bisnis ini tidak scalable. Tahun 2003, bersama dengan munculnya undang2 HAKI, bisnis ini pun bubar :) Salah satu keistimewaan video rental dengan layanan antar jemput ini adalah juga memiliki outlet2 tempat pelanggan bisa datang langsung dan meminjam. Pelanggan bisa meminjam di suatu outlet (misalnya di Bapindo Plaza), dan mengembalikannya di Kemang. Atau pinjam di Kemang dan untuk mengembalikannya bisa minta diambil. Layanan ini sudah mirip banget dengan sistem perbankan di mana seorang nasabah bisa menyetor dan mengambil uang di cabang manapun, dengan tambahan extra : bisa melayani antar jemput. So Sari, aku interest banget dengan kiosbaca.com kamu :)

Kalau contoh yg no.2, banyak banget dan sudah disebut : radioclick.com, gadogado.net, dan favorit saya : indoproperty.com (yg akhirnya model bisnisnya dikembangkan dengan sangat sukses oleh rumah123.com )

Tertarik baca2 bisnis online tahun 90an ? Klik http://www-cgi.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/97/1205/aa2.html

Sastro Gozali (@sastrogozalisendokgarpu.com)

Wahh seru juga yah topic ini, begitu buka dah banyak banget conversationnya. Disini saya coba share untuk awal bangun website sendokgarpu perlu attention banget karena pada tahun 2007 penetrasi penggunaan internet belum begitu banyak dan sekarang bisa lebih mudah karena adanya blackberry dan smartphone lainnya yang mendukung dotcom bisa lebih mudah untuk mendapatkan visitors yang dimana semakin banyak visitors pasti akan lebih mudah untuk menawarkan iklan berbayar.

Untuk awal2 saya bertahan juga saya gak hanya jualan iklan, tapi cross-selling dengan jasa yang lain. Sehingga bisa bertahan dan maintain. Dan sekarang juga wifi ada dimana-mana, jadi lebih mudah online daripada beberapa tahun yang lalu. Yang pasti sekarang makin gampang buat #startup di Indonesia untuk membuat ide website dan nonjol di permukaan :) dan makin banyak kompetitor. Tapi justru dengan ada banyak kompetitor, dunia internet di Indonesia akan semakin berkembang.

Yang pasti focus pada planning dan think creative untuk selalu mencari ide dan diskusi dengan komunitasnya. Pasti nanti ketemu cara untuk dapat revenue.

Natali Ardianto (@nataliardiantogolfnesia.com)

Menarik :) Ini info (dan gosip) yg saya dengar sana sini ya ttg thn 2000an itu: astaga.com itu katanya sih investment Afsel. Tapi gosipnya itu sebenernya teknik money laundry. Ada yg bisa confirm? :D

Kalau lipposhop.com saya pikir memang bagus webnya, tapi strateginya salah. Dulu mereka B2C. Nah mana ada consumer yg mau beli pensil 5 buah via online? Ongkosnya lebih mahal. Lalu kalau ngga salah, ongkosnya juga masih mahal banget waktu itu. Nganternya saja pakai mobil boks.

Lalu seingat saya 1 tahun sebelum tewas, mereka mengubah strategi menjadi B2B. A good strategy, krn kantor2 konsumsinya stationary-nya tinggi, but it was too late. Bottomline: both of them itu besar pasak daripada tiang.

Tahu ngga kenapa lebih banyak website yang monetisasinya via iklan bukan via service fees? Ya karena pada bikinnya yg berbasis iklan semua hahahaha. Ayo startups, mulai convert offline selling menjadi online selling. Masih banyak ide-ide yang juga gila-gila, yg saya dapatkan dari partner jepang saya yg cerita ttg bisnis model yg berkembang di jepang dan di indonesia sih potensial banget.

Ya salah satunya Golfnesia.com ini *iklan*. 70% reservasi golf di Jepang itu dilakukan secara online! Di Amerika, revenue dari sporting fee itu 50% dari golf! Things like this yang suka kita ngga ngeh krn kita ngeliatnya ke dalam terus.

Ada satu lagi, yg ingin saya buat. Did you know that the dating industry di Amerika is A LOT bigger than porn industry? It’s worth $1,05 billion per year and will be $1,3 billion in 2013. Average spending $239/user/year. Jumlah user di amerika 40 juta, china 140 juta, india 15 juta. Indonesia? Masih ribuan. Potensinya masih besar.

Andre Siregar (@dregar – funcrowds.com)

Sedikit komentar mengenai LippoShop, karena dulu saya pernah terlibat di sana… Model bisnis mereka mirip dengan banyak perusahaan internet lain di masa itu. Bubble internet di tahun ’99 membuat banyak startup yang berdiri dengan asumsi kalau pertama masuk di pasar, pasti akan menang market share. Revenue model nggak dipikirkan karena funding mudah sekali didapat (dari investor atau IPO). Banyak produk yang dibuat tanpa ada permintaan pasar. Prinsipnya “build and they will come.” Uang yang didapat dihamburkan untuk advertising (lihat iklan Superbowl harga jutaan dolar di masa itu yang penuh dengan perusahaan dot-com).

Advertising membuat market awareness, tetapi tidak membuat market demand. Kalau market tidak suka produk kita, percuma menghamburkan uang untuk advertising. Di hari launch LippoShop, mereka buat iklan 2 halaman penuh di Kompas. Modal dipakai untuk membuat warehouse, mobil delivery, dll. Setelah beberapa bulan operasi, jelas demand pasar tidak sesuai dengan asumsi awal. Target revenue/profit tidak tercapai. Akhirnya target segmen diperkecil menjadi hanya B2B dengan harapan bisa lebih fokus. Tetapi perubahan strategi itu terlambat. Modal akhirnya habis sebelum demand pasar berhasil dibuat.

Sekarang kita sudah banyak belajar dari pengalaman dot-com crash. Banyak startup sekarang launch early dengan produk yang sederhana (“minimum viable product”). Modal dihemat untuk membangun produk dan market demand. Baru setelah ada demand yang jelas dari pasar, uang dipakai untuk marketing. Segmen market juga diraih satu-satu, dari kecil jadi besar.

Menarik bukan diskusinya? Hehe, oleh karena itu untuk para startup yang belum ikut bergabung dalam milis #startuplokal bisa langsung aja ke: http://tech.groups.yahoo.com/group/StartUpLokal/. Dan untuk topik diskusi dari artikel ini bisa klik link ini.

Nah…. mungkin pembaca TeknoJurnal yang punya pendapat tambahan bisa dishare di kolom komentar :D