Fintech, Model Bisnis Baru Ataukah Ancaman untuk Perbankan Indonesia?


Fintech, Model Bisnis Baru Ataukah Ancaman untuk Perbankan Indonesia

Pusdiklat Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta dan Fintech Office Bank Indonesia mengadakan seminar bertajuk “Digital Diplomacy on Fintech: Opportunity in Disruptivity” pada 29 dan 30 Maret 2017 di Auditorium CSIS, Gedung Sentral Pakarti, Jakarta Pusat.

Rangkaian seminar diisi oleh diskusi bersama para akademisi, praktisi, dan pengusaha inspiratif yang bergerak di bidang Financial Technology (Fintech).

Fintech telah menjadi magnet tersendiri tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Walaupun teknologi digital dalam finance sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam pengantar rangkaian seminar sekaligus menjadi sesi pembuka membahas Why Financial Technology?

Sesi tersebut dihadiri Niki Luhur selaku ketua umum dari Fintech Association, Junanto Herdiawan dari Fintech Office Bank Indonesia, dan Grace Dewi dari CSIS, menggarisbawahi pentingnya sinergi antara regulator dan pelaku bisnis di dunia Fintech untuk menjamin perkembangan sektor tersebut tetap dalam koridor yang sesuai aturan.

Dorongan ekosistem dan bermunculannya perusahaan Fintech terbukti telah berhasil meningkatkan inklusifitas financial service. Fintech mampu mengatasi permasalahan sosial dan memberi akses jasa keuangan pada masyarakat kecil, misalnya dengan pinjaman Peer to Peer Lending.

Namun, di sisi lain ada distruptivity dan Fintech terlihat seperti mempreteli bisnis yang selama ini digarap industri perbankan konvensional. Menyikapi hal ini, Junanto Herdiawan menekankan pentingnya regulator sebagai perlindungan terhadap konsumen.

“Teknologi sudah mengubah hidup dalam berbagai sisi. Kita harus membuka diri kalau fintech sebenarnya menjawab permasalahan ekonomi dengan platform yang memberikan model bisnis baru dan potensi ekonomi. OJK pun tak buru-buru melarang fintech, tapi menyusun aturan supaya balance antara Fintech dengan regulasi yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan,” papar Junanto.

Grace Dewi mengungkapkan jika Fintech sebenarnya bisa memiliki fungsi lebih. Mengambil contoh penerapan di beberapa negara, Big Data Fintech bisa menjadi bahan analisis perekonomian untuk menangkal krisis lebih awal, alat bank sentral bank untuk mengawasi credit surface, dan sebagainya.

“Fintech bukan hanya sekadar penyaluran jasa keuangan saja, tapi bisa menggunakan Big Data yang terkumpul. Meskpun tak disangkal bahwa penggunaan Big Data ini memang masih memilki kelemahan dari sisi keamanan, seperti kesalahan analisis data, dan sebagainya,” tambah Grace.

Namun, Niki Luhur selaku ketua umum Fintech Association optimis bahwa Fintech dapat memberikan akses keuangan pada masyarakat secara merata. Fintech bukan sebuah distruptivity karena fokus pertama Fintech terletak pada perusahaan yang fokus di bidang teknologi yang kemudian berfokus pada pelayanan jasa keuangan.

Pelaku Fintech dan regulator bisa bekerjasama. Niki menekankan, ada tiga hal penting yang menjadi prioritas agar Fintech bisa maju, yaitu infrastruktur, regulasi, dan kolaborasi.

Regulator bisa memberi dukungan infrastruktur digital KYC atau tandatangan digital untuk menjangkau pelosok, penggunaan data untuk credit scoring, dan Fintech bisa berkolaborasi menghadirkan data platform dan credit platforfm. Adanya kolaborasi antara semua pelaku keuangan, bukan hanya pemain tertentu bisa mendukung pembangunan industri Fintech bersama-sama secara cepat.

Sebagai bentuk dukungan terhadap Fintech, Junanto menutup sesi diskusi dengan rencana ke depan bahwa para pelaku Fintech akan masuk regulatory sandbox Bank Indonesia, yaitu ruang inovasi yang terbuka bagi pelaku Fintech.

Bukan tak mungkin nantinya juga bisa tercipta produk-produk Fintech  berbasis syariah. Regulatory sandbox sendiri berperan sebagai upaya menemukan balance antara Fintech dengan regulasi di Indonesia.

Pada akhirnya, Fintech harus dipandang sebagai potensi besar untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi di Indonesia. Ada opportunity dalam pengembangan Fintech yang tentunya harus didukung dari sisi regulasi, proteksi, dan privasi data yang ada.

Gambaran mengenai landscape Fintech di Indonesia secara lebih luas bisa diketahui pada seminar hari kedua yang akan berlangsung 30 Maret 2017 esok. Untuk hadir, pendaftaran tidak dipungut biaya, dan masih dapat mendaftar lewat tautan digitaldiplomacyfintech.eventbrite.com

* Disclosure: TeknoJurnal adalah media partner acara ini

,