Kurangnya konten lokal adalah jelas berlaku di semua jenis media, termasuk media internet. Masyarakat kita termasuk saya, sangat banyak menghabiskan waktu di depan monitor komputer, handphone, hingga layar televisi untuk menikmati sebuah konten yang kebanyakan berasal dari negara maju di luar sana, bukan dari konten yang berasal dari negara kita Indonesia.
Saat ini kita seperti dipaksa mengkonsumsi konten yang bukan lokal, yang di dalamnya memiliki informasi tentang nilai dan gaya hidup yang jelas berbeda dengan apa yang ada di Indonesia. Akibatnya masyarakat kita sekarang, apalagi generasi muda sudah kehilangan nilai, gaya hidup, serta kebudayaan “Indonesianya”. Semakin terpengaruh dari si konten yang bukan lokal ini.
Konten lokal itu tidak dapat mengalir dan kemudian muncul dengan sendirinya. Harus ada pendorong atau pencetus serta pendukung yang memiliki motivasi untuk membuat, mengadaptasikan, memfilter serta melakukan “mind exchange”. Mind exchange dari kebiasaan “Ter”-jejali konten yang bukan lokal, menjadi cinta akan konten lokal itu sendiri. Merubah kebiasaan dan ketergantungan masyaraka, menjadii sifat optimis dan motivasi dalam “membuat”.
Untuk di bidang teknologi informasi, gerakan radikal seperti di China dengan memblokir berbagai konten yang bukan lokal merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam memberdayakan konten lokalnya. Kita di Indonesia, tidak perlu sampai se radikal itu. Melihat contoh dari Cina, masyarakatnya akhirnya terdorong untuk membuat konten yang tidak kalah kualitasnya dengan konten yang bukan lokal. Hasilnya mereka bisa mandiri dari yang namanya FaceBook, Twitter dan produk IT lainnya. Mereka bisa menjadi raja di negara nya sendiri. Dampak lainnya adalah, para developer yang bergerak di bidang IT semakin dihargai di negerinya sendiri, generasi mudanya menjadi generasi yang tidak lupa budaya, mau berusaha, dan juga kreatif serta produktif dalam menciptakan teknologi mereka sendiri.
Pada akhirnya masyarakat di Cina memiliki kesadaran, bahwa mereka bisa menjadi penyedia konten untuk mereka sendiri. Dengan adanya pemikiran seperti ini, maka selanjutnya tujuan masyarakatnya pasti akan berkembang menjadi ke arah penyedia konten untuk masyarakat global. Di bidang IT, adanya paham seperti ini akan mendorong munculnya produk yang bersifat global, yang akan bisa bicara dan digunakan oleh masyarakat lainnya di negara lainnya.
Indonesia bukanlah lemah dalam bidang IT, masalahnya sekarang banyak yang bergerak secara sendiri-sendiri, dan tidak terkoordinasi. Kurang dukungan dari pemerintah dan sedikitnya mentor di bidang ini menjadi faktor yang kurangnya produktifitas di negeri ini. Kalau dari saya pribadi saya sangat menginginkan adanya bantuan dari pemerintah untuk pendistribusian konten lokal ke masyarakat dan adanya dana khusus untuk pengembangan konten di Indonesia. Serta adanya inkubator dan departemen yang sanggup menyatukan semangat para pengembang dalam menciptakan konten lokal. Tentunya dengan kebijakan-kebijakan yang bagaimana caranya bisa membuat gairah para pengembang di dunia IT semakin terpompa. Jangan biarkan mereka terus bergerak secara underground, coba tolong angkat ke permukaan, ke mata masyarakat Indonesia, kalau bisa ke mata dunia. Jangan hanya mengurusi hal hal pornografi saja, masih banyak yang masih bisa digali, tolong lah kami ini di berdayakan. Diberi motivasi, di dukung dan jangan dibatasi.
Penting untuk di catat disini, IT memiliki potensi besar dalam pengembangan konten lokal saat ini. Biaya yang tidak terlalu besar dan juga skill masyaraktnya yang luar biasa menjadi satu nilai tambah tersendiri. Mari kita coba menguasai bidang IT ini dengan produk kita, produk anda, produk saya sehingga kedepannya kita bisa menjadi bangsa yang mandiri, dan juga bisa berbicara di arena dunia.