Artikel ini merupakan guest post dari Razi Thalib. Ia adalah konsultan dan pengusaha dengan pengalaman 7 tahun di industri digital media di Australia khususnya bidang product management, strategy dan marketing. Antusiasmenya untuk industri digital di Indonesia menggiringnya kembali ke kota kelahirannya, Jakarta. Ia pendukung pergerakkan bisnis di level grassroots, terutama dunia startups, dan melihat industri ini berpotensi sebagai ajang perubahan positif bagi persepsi penggunaan teknologi digital di dunia bisnis Indonesia. Ia juga pendiri dan pemilik Bridges and Balloons, sebuah agensi digital di Jakarta. |
* Artikel ini ditranslasikan oleh Rama Romindo
Mungkin orang akan menduga bahwa saya terobsesi pada konsep keindahan. Saya bukannya begitu terobsesi, tapi lebih merasa kagum akan subyek ini.
Ketika Anda berpikir tentang keindahan, lazimnya yang pertama kali muncul dalam pikiran sifatnya manifestasi fisik. Mungkin Anda akan langsung memvisualisasikan rupa, bentuk serta kombinasi antara warna dan cahaya yang mengarahkan indera penglihatan Anda.
Namun demikian, seperti juga persepsi kita tentang keindahan seseorang, seiring waktu justru pesona jiwa dan kepribadian yang lebih dominan dan melampaui wujud fisik. Seorang model berparas cantik dengan mudahnya membuat mata Anda terpana, tapi jika kelakuannya tidak sesuai ekspektasi atau bila Anda berdua tidak memiliki kesamaan cukup maka jalinan hubungan akan cepat berakhir. Cobalah bertanya pada pasangan yang bahagia dan berhasil merayakan 50 tahun pernikahan, maka keduanya akan mengungkapkan bahwa mereka memandang keindahan dengan makna berbeda ketimbang saat pertama kali bertemu.
Keindahan adalah keseimbangan antara yang kasat mata dan yang tak terlihat; antara yang jelas kentara dan yang samar-samar tampak; antara sesuatu yang nyata dan yang sulit dimaknai. Dan meskipun indah bersifat subyektif, saya berani berargumen bahwa pada banyak hal pasti ada semacam persamaan awam saat kita semua dapat setuju untuk menarik kesimpulan apakah sesuatu itu indah atau tidak.
Lalu apa arti keseimbangan ini ketika berbicara soal produk digital?
Saya yakin keseimbangan bisa didapat dari kombinasi 3 faktor berikut:
- Estetika (penglihatan dan perasaan)
Saat pertama kali pengguna melihat produk Anda, bagaimanakah tata letak, konten dan perpaduan warna menarik perhatian mereka? Apakah cocok dengan tujuan dibuatnya produk itu? Apakah mereka merasa terinspirasi untuk menggunakan produk tersebut? - Kekuatan (fungsi)
Ketika pengguna setuju untuk menggunakan produk Anda, apakah produk tersebut berhasil memenuhi semua harapan yang dijanjikan? Apakah produk itu mampu memenuhi kebutuhan penggunanya? Apakah solusi yang diberikan bersifat efisien dan efektif? Apakah produk Anda dapat melampaui segala ekspektasi pengguna sesuai dengan maksud dan tujuannya? - Simpel (mudah dipakai)
Apakah produk Anda mudah dipakai oleh pengguna? Apakah produk itu sudah dibekali antisipasi terhadap kemungkinan setiap reaksi pengguna? Apakah produk tersebut mampu mengarahkan pengguna secara tepat sehingga dengan mudah pengguna bisa mendapatkan yang mereka inginkan? Sudahkah Anda menyingkirkan semua gangguan dan hambatan demi mencapai sukses? Apakah produk Anda mampu menimbulkan rasa senang atau kegembiraan saat digunakan?
Semua ini mengingatkan saya ketika saya kembali ke Jakarta beberapa bulan lalu. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah kenapa kota ini tampak begitu jelek. Awalnya saya pikir itu sekadar isu visual. Sebagai contoh kondisi jalan yang tidak rata, suasana pinggir jalan yang kotor dan tumpukan sampah yang tersebar di sekeliling kota. Kesimpulannya, kota ini sangat tidak menarik.
Namun setelah menjalani kehidupan di sini, saya semakin menyadari bahwa kejelekan kota ini bukan hanya di permukaan saja.
Sayangnya Jakarta punya dua kelemahan “internal” yaitu:
- Fungsi yang tidak memadai. Infrastrukturnya tidak secara efektif mendukung persyaratan layak bagi kota berpenduduk jutaan orang. Menyebut beberapa contoh nyata antara lain kemacetan yang luar biasa parah, banjir, dan penomoran atau info jalan yang tidak konsisten.
- Kompleksitas. Kota ini tidak user-friendly. Coba tanya orang yang baru datang ke Jakarta. Apakah mereka bisa dengan mudah berkeliling kota? Mereka akan mengatakan itu adalah tugas yang sangat berat karena tanda, arah dan petunjuk jalannya tidak jelas. Anda harus betul-betul menguasai seluk-beluk jalan agar dapat menjelajahi kota ini secara efektif.
Saya yakin bahwa kelemahan-kelemahan internal inilah alasan krusial kurangnya keindahan kota ini.
Walaupun begitu, Jakarta telah menjadi bahan perenungan saya dan pendorong kuat untuk menciptakan produk-produk digital yang lebih baik. Pengalaman buruk yang saya alami setiap hari menginspirasi saya untuk mewujudkan keindahan dalam hal apapun yang saya bantu kreasikan.
Visi saya tentang keindahan bukan saja didapat dari sudut pandang estetika, tapi juga melibatkan kekuatan fungsi dan simplisitas (kesederhanaan). Saya yakin bahwa keindahan tercipta berkat keseimbangan dari ketiga faktor ini.
Seimbangkan ketiganya bagi pengguna Anda, maka mereka akan jatuh cinta pada produk Anda.